Pancasila dan Ormas Islam (NU)
A. Bangkitnya
Ulama
Awalnya
NU merupakan organisasi Islam yang benar-benar mengurusi masalah keagamaan. Akan
tetapi, setelah NU bergabung dengan organisasi politik PPP, fokus NU menjadi
bergeser dan lebih berpusat kepada kegiatan politiknya. Menyadari hal ini, NU melakukan upaya perbaikan status NU dengan
mengadakan Muktamar XXVI 1979 di
Semarang. Muktamar ini menjadi muktamar yang pertama sekaligus yang terakhir
bagi NU selama bergabung dalam PPP. Sebelumnya NU juga pernah mengadakan
Muktamar XXV pada tahun 1971. Muktamar XXVI 1979 menghasilkan program lima
tahun, yang intinya menegaskan organisasi NU agar kembali pada kittah 1926
yaitu sebagai organisasi keagamaan. Akan tetapi, kenyataanya NU tetap berfokus
pada kegiatan politik dalam PPP. “NU benar-benar mengalami krisis identitas,
semangat kembali menjadi organisasi keagamaan dikumandangkan tetapi langkah
untuk kembali tidak dibenahi.” (Abdurrahman Wahid, 1989)
Pada
tanggal 1 Mei 1982 di Surabaya, para ulama mengadakan pertemuan yang
diprakarsai oleh Rois Am. Pertemuan tersebut membahas tentang kelemahan kepemimpinan
Ketua Umum PBNU yaitu Idham Chalid. Pada akhirnya, pertemuan tersebut
memutuskan Idham Chalid diberhentikan dari jabatannya. Ketika itu, Idham Chalid
sedang sakit sehingga beliau menyetujui pemberhentiannya dari jabatan.
Kemudian, kepemimpinan Idham Chalid digantikan oleh Rois Am. Setelah Idham
Chalid sembuh dari sakit, sekitar tanggal 14 Mei 1982 beliau menggugat kembali
pengundurannya dengan alasan beliau diprotes oleh pengurus wilayah. Kejadian
ini menimbulkan munculnya dua kelompok yaitu, pertama kelompok yang dipimpin
oleh empat ulama senior, yaitu KH. As’ad Syamsul Arifin, KH. Ali Ma’shum, KH.
Masjkur, dan KH. Machrus Ali. Kedua kelompok Cipete yang dipimpin Idham kholid
yang terdiri dari para politisi dan birokrat NU di Jakarta.Kemudian Idham
Kholid menghimpun kekuatan dan meminta agar NU mengadakan muktamar lagi.
Akan tetapi, NU menilai
lebih penting untuk mengadakan Munas (Musyawarah Nasional) sekaligus membahas
Pancasila isu nasional.
Akhirnya, NU mendapat izin dari pemerintah untuk
melaksanakan Munas. Musyawarah Nasional ini berlangsung di Pesantren Salafiah
Syafiiyah Sukorejo, Situbondo (pesantren ini dipimpin oleh K.H Asad Syamsul
Arifin) pada tanggal 18-21 Desember 1983/ 13-16 Rabiul Awwal 1404. Sebelum
diadakan Munas, pihak ulama telah menyampaikan terlebih dahulu ketetapan
politik yang telah diputuskannya secara langsung kepada presiden. Masalah asas
Pancasila juga telah dibicarahan oleh K.H Asad Syamsul Arifin kepada presiden
katika, beliau diterima dalam sebuah pertemuan khusus. “K.H Asad Syamsul
Arifin, beliau menegaskan pendirian sebagian besar ulama dan umat Islam
Indonesia bahwa mereka menerima Pancasila hukumnya wajib. Beliau mengusulkan
untuk diadakannya munas untuk meratakan pendirian itu dan sekaligus dilihat
kemungkinan perubahan Anggaran Dasar NU sebagai konsekuensi dari pernyataan
tersebut.”(Abdrrahman Wahid,1989)
Musyawarah Nasional tahun 1983 membahasan tentang empat
hal yaitu,
1. Pemulihan
NU kepada Kittah 1926. Nu kembali menjadi organisasi keagamaan dengan
mengarahkan program NU kepada situasi pembangunan dan mengatur perangkat
organisasi yang mendukung cita-cita NU sesuai Kittah 1926
2. Penetapan
Pancasila sebagai asas organisasi. Dibahas penerimaaan Pancasila sebagai asas
dan penjabaranya dalam Anggaran Dasar
3. Penegasan
batasan-batasan bagi penyaluran aspirasi politik warga NU melalui kekuatan
sosial politik yang ada
4. Pembhasan
maslah keagamaangan
Selain
itu, Munas juga membahas deklarasi tentang hubungan Pancasila dengan Islam yang
menghasilkan lima keputusan yaitu,
1. Pancasila
sebagi dasar dan falsafah Negara Republik Indonesia bukanlah agama, dan tidak
dapat menggantikan agama dan tidak dapat dipergunakan untuk menggantikan
kedudukan agama
2. Sila
Ketuhanan Yang Maha Esa sebagi dasar Republik
Indonesia menurut Pasal 29 Ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945, yang menjiwai sila-sila yang lain, mencermikan
tauhid menurut pengertian keimanan dalam Islam
3. Bagi
Nahdlatul Ulama, Islam adalah akidah dan syariat, meliputi aspek hubungan
manusia dengan Allah swt. dan hubungan antar manusia
4. Penerimaan
dan mengamalan Pancasila merupakan perwujudan dari upaya umat Islam Indonesia
untuk menjalankan syariat agamanya
5. Sebagai
konsekuensi dari sikap di atas, Nahdlatul Ulama berkewajiban mengamankan
pengertian yang benar tentang Pancasila dan pengamalannya yang murni dan
konsekuen oleh semua pihak.
B.
Dasar-Dasar
Pemikiran Nahdlatul Ulama Menerima Pancasila
1.
Konsep
Fitrah
Fitri atau fitrah yang artinya murni atau suci yang mencerminkan agama Islam
sebagai agama yang mengajarkan segala hal tentang kebaikan. Dalam konteks ini,
berarti agama Islam membenarkan hal-hal yang baik. Sila-sila dalam Pancasila
merupakan cita-cita dan tujuan bangsa Indonesia artinya itu merupakan suatu hal
yang baik dan itu tidak bertentangan dengan keyakinan agama Islam. Pancasila
bukan agama dan tidak dapat menggantikan
kedudukan agma karena Pancasila merupakan sebuah falsafah bangsa, sedangkan
Islam merupakan sebuah agama yang dinilai sebagai sebuah wahyu dari Tuhan.
Sehingga NU tetap menerima Pancasila dan akan mewujudkannya dengan sikap-sikap
yang selaras dengan ajaran-ajaran Islam.
2.
Konsep
Ketuhanan
Dalam sila Pancasila yang pertama,
NU menilai itu mengandung sebuah makna khusus bagi agama Islam yang mencerminkan tentang ketauhidan. Selain itu,
dalam Undang-Undang Pasal 29 ayat 1 juga telah dijelaskan bahwa negara berdasar
atas Ketuhanan Yang Maha Esa. Sila Pancasila yang pertama ini, menurut K.H.
Achamad Siddiq adalah,
a. Sila
Ketuhanan Yang Maha Esa mencerminkan pandangan Islam akan keesaana Alalah,
b. Adanya
pencantuman “atas berkat rahmat Allah Yang maha Kuasa” pada Pembukaan Undang-undang Dasar 1945, yang
menunjukkan kuatnya wawasan keagamaan dalam kehidupan negara sebagai bangsa.
Sehingga,
Islam hanya perlu mengembangkan fitrah manusia saja dan Islam dapat menjalankan fungsinya di dalam
masyarakat.
3.
Pemahaman
Sejarah
Dari pemahaman
sejarah ini dapat kita lihat bahwa pada masa penjajahan NU
ikut berjuang unntuk mewujudkan sebuah negara
yang merdeka. Sehingga, setelah
terbentuknya negara Indonesia NU juga turut serta dalam menciptakan
sebuah negara yang beridiologi. Salah satunya dengan menerima asas Pancasila
ini. Beberapa pokok pikiran KH. Ahmad Sidiq menegaskan,
1. Perjuangan
umat Islam Indonesia untuk menolak penjajahan dan memperjuangkan kemerdekaan
bangsa dari tangan penjajah telah berlangsung sejak lama,
2. Ketika
perjuangan merebut kemerdekaaan sudah mendekati keberhasilanya umat Islam
memberikan saham yang sangat besar dalam persiapan lahirnya negara Indonesia
merdeka. Melalui para pemimpinya, umat Islam ikut menentukan wujud, asas, dan
hukum negara yang akan lahir itu,
3. Setelah
negara Republik Indonesia diproklamirkan, umat Islam tanpa ragu-ragu membela
dan mempertahankan kemerdekaan itu, bukan saja sebagai kewajiban nasional,
melainkan juga kewajiban agama,
4. Ketika
revolusi fisik telah selesai, umat Islam memberikan saham pula dalam pengisian
kemerdekaan yang dicapai dengan penuh pengorbanan itu, Keikutsertaan umat Islam
itu terbukti dalam dua jenis kerja besar, yaitu
a. Umat
Isalm berhasil turut menjaga keutuhan negara dari gangguan gerakan-gerakan
separatis dan pemberontakan-pemberontakan bersenjata,
b. Di
era Orde Baru, umat Islam turut mengisi kemerdekaan dalam bentuk partisipasi
penuh dalam pembangunan nasional yang sedang berlangsung dewasa ini.
Jika
dilihat dari sudut pandang agama, walaupun negara itu bukan negara Islam,
tetapi negara tetap menjadi jembatan untuk menegakkan nilai-nilai agama. KH. Achmad
Sidiq mengambil kesimpulan,
1. Mendirikan
negara dan membentuk kepemimpinan negara untuk memelihara keluhuran agama dan
mengatur kesejahteraan kehidupan duniawi wajib hukumnya,
2. Kesepakatan
bangsa Indonesia untuk mendirikan negara Republik Indonesia, adalah sah dan semua
pihak, termasuk umat Islam mengikat
3. Hasil
kesepakatan yang sah itu, yaitu Negara Kesatuan Republik Indonesia, adalah sah dilihat
dari pandangan Islam, sehingga harus dipertahankan dan dilestarikan eksisitensinya,
4. Sahnya
kesepakatan, hasil kesepakatan, dan ketrkaitan semua pihak itu berlanjut pada
hal-hal berikut,
a. Kewajiban
menurut wujud, asas, dan hukum negara sebagaimana ditetapkan dalam kesepakatan,
b. Kewajiban
menjaga dan mengamalkan asas dalam hukum dasar sebagaimana ditetapkan dalam
kesepakatan, berarti kewajiban menjaga agar asas dan hukum dasar itu tidak
disimpangkan dan diselewengkan,
c. Kewajiban
untuk taat kepada penguasa negara yang sah, dalm hal yang tidak mengajak kepada
kekufuran, ingkar kepada Allah, dan kepada kemaksiatan yang nyata,
d. Kewajiban
beramar maruf nahi munkar (melakukan apa yang diketahui baik dan menjauhi apa
yang dibenci Allah) dan saling menasihati, tidak terkecuali kepada pemerintah,
menurut cara yang sebaik-baiknya,
e. Kewajiban
untuk ikut serta secara aktif dan konstruktif dalam upaya mewujudkan tujuan
didirikanya negara.
(Einar martahan Sitompul, M.Th.,1989)
C. Perkembangan Politik
Mendekati
legsernya kepemimpinan Soeharto, pada 11 Mei 1998 para kiai mengadakn sebuah
pertemuan di Langitan. Pertemuan itu
membahas tentang keadaan negara yang semakin kacau, sehingga para kiai membuat
surat resmi kepada Soeharto. Surat itu berisi tentang permintaan agar Soeharto turun dari jabatan presiden. Kiai
Mu’hid Mujadid dan KH. Yusyf Muhammad
adalah orang yang menjadi utusan untuk
mengirimkan surat tersebut kepada Soeharto.
Sebelum surat itu sampai kepada Soeharto, beliau sudah mengundurkan
diri, pada tanggal 23 Mei 1998. Sejak lengserrnya kekuasaan Soeharto, maka
kebebasan bagi rakyat pun mulai terbuka. Salah satunya adalah munculnya banyak
partai politik baru.
Ada
beberapa fenomena yang cukup berdampak besar pada politik, yaitu
1. Pergantian
pemerintahan dari Orde Baru ke era reformasi membuka jalan rakyat untuk
mengemukakan pendapatnya secara terang-terangan dan rakyat dapat ikut
berpartisipasi dalam pemerintah melalui suatu partai politik.
2. Adanya
globalisasi yang mendorong negara lebih terbuka kepada negara-negara lain.
D. NU Mencoba Berpolitik
Setelah bertahun-tahun NU beristirahat dalam dunia
politik. Kini saatnya NU berkiprah lagi. Setelah lengsernya kepemimpinan
Soeharto, selang beberapa bulan NU mulai terjun kembali di dunia politik di bawah
kepemimpinan Gus Dur dengan mendirikan parpol Partai Kebangkitan Bangsa (PKB)
pada 23 Juli 1998. PKB ini berasaskan Pancasila dan pastinya berlandaskan agama
karena didirikan oleh para ulama.
Sejak didirikanya PKB ini NU telah banyak mengalami
pasang surut dalam kepemimpinan maupun dalam kiprahnya di dalam politik dan
keagamaan. Selain PKB ada beberapa parpol yang menyalurkan aspirasi politik NU
seperti, Partai Kebangkitan Umat (PKU), Partai Nahdlatul Ummat (PNU), dan
lain-lain.
Perlu diketahui bahwa Muhammadiyah juga turut terjun
dalam partai politik terutama Amien Rais dengan mendirikan parpol Partai Amanat
Nasional (PAN). Akan tetapi baik parpol NU maupun Muhammadiyah tidak satupun
yang meraih suara terbanyak dalam pemilu. Lambat laun prestasi partai-partai
Islam semakin memudar. Mungkin karena hal itulah, masa Islam bergabung dengan
Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang dibentuk juga pada tahun 1998. Mereka
bergabung karena parpol ini dianggap lebih jelas identitasnya, yakni
memperjuangkan berlakunya syariat Isalam. PKS meraih suara yang sangat besar
pada pemilu 2009 sehingga mengungguli partai-partai Islam lainya.
Sejak NU terjun dalam partai politik dan setelah
kejayaan NU pada pemilu 1955, NU tidak lagi seperti dulu. Setelah bergabungnya
NU dengan PPP dan Masyumi Nu merrasa diremehkan oleh anggota fusi lainya. Bisa dibilang bahwa dunia politik kurang cocok bagi NU, walupun didirikan PKB sebagi rintisan baru parpol NU, tetap saja kiprah NU
kurang baik.
E. NU Tetap Mempertahankan Pancasila
Berakhirnya Orde Baru tidak mengubah pendirian NU yang
menganut asas Pancasila secara utuh. Ini membuktikan banwa NU menerima
Pancasila tidak karena tekanan politk, tetapi karena pertimbangan dalam segi
agama yang matang. Pada masa Orde Baru,
walaupoun NU dan pemimpin Orde Baru sama-sama menganut asas Pancasila, teteapai
pemahaman mereka sangat berbeda. Pemimpin Orde Baru mengutamakan Pancasila
sebagai legitimasi kekuasaan dan alat mengendalikan kekuatan sosial politik,
sedangkan NU ingin terus menggunakan Pancasila sebagi landasan pembangunan
masyarakat yang lebih berkeadilan dan demokratis.
Penetapan Pancasila sebagai asas negara tidaklah
salah bagi penanut agama Islam selama tida melenceng dari syariat Islam.
Interpretasi terhadap Pancasila tidak boleh menjadi monopoli penguasa dan juga
tidak boleh dikendalikan oleh sekelompok orang untuk nama mayoritas. Jika ini
dibiarkan maka Pancasila akan menjadi ideologi tertutup yang pada akhirnya akan
menciptakan iklim totaliterisme
(diktatorisme). Ini cenderung menyuburkan sikap anti-kemanusiaan dan
anti-demokrasi, sebab orang lain disingkirkan di bawah kekuasaan. Disisi lain,
demokrasi adalah pengakuan atas persamaan hak warga negara tanpa memendang
agama, suku, dan ras. Penerimaan Pancasila dengan terus mengembangkanya
merupakan sikap yang dibangun diatas kesadaran akan masa depan bangsa
Indonesia, masa depan yang menjalin persatuan seperti dalam istilah “Bhineka
Tunggal Ika".
Daftar Pustaka
Sitompul, Einar Marthan. 1989. NU & Pancasila. Yogyakarta: PT LKiS Printing
Cemerlang.
Cemerlang.
Amin, M. Masyhur. 1996. NU & Ijtihat politik kenegaraanya. Yogyakarta: Al-Amin.
Aldjufri, Shaleh.1997. Politik NU dan Era Demokratisasi Gus Dur. Surabaya: LPLI.
Aldjufri, Shaleh.1997. Politik NU dan Era Demokratisasi Gus Dur. Surabaya: LPLI.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar