Rabu, 12 Oktober 2016

Pancasila dan Ormas Islam (NU)


Pancasila dan Ormas Islam (NU)
    
A. Bangkitnya Ulama
Awalnya NU merupakan organisasi Islam yang benar-benar mengurusi masalah keagamaan. Akan   tetapi, setelah NU bergabung dengan organisasi politik PPP, fokus NU menjadi bergeser dan lebih berpusat kepada kegiatan politiknya. Menyadari hal ini,  NU melakukan upaya perbaikan status NU dengan mengadakan  Muktamar XXVI 1979 di Semarang. Muktamar ini menjadi muktamar yang pertama sekaligus yang terakhir bagi NU selama bergabung dalam PPP. Sebelumnya NU juga pernah mengadakan Muktamar XXV pada tahun 1971. Muktamar XXVI 1979 menghasilkan program lima tahun, yang intinya menegaskan organisasi NU agar kembali pada kittah 1926 yaitu sebagai organisasi keagamaan. Akan tetapi, kenyataanya NU tetap berfokus pada kegiatan politik dalam PPP. “NU benar-benar mengalami krisis identitas, semangat kembali menjadi organisasi keagamaan dikumandangkan tetapi langkah untuk kembali tidak dibenahi.” (Abdurrahman Wahid, 1989)


Pada tanggal 1 Mei 1982 di Surabaya, para ulama mengadakan pertemuan yang diprakarsai oleh Rois Am. Pertemuan tersebut membahas tentang kelemahan kepemimpinan Ketua Umum PBNU yaitu Idham Chalid. Pada akhirnya, pertemuan tersebut memutuskan Idham Chalid diberhentikan dari jabatannya. Ketika itu, Idham Chalid sedang sakit sehingga beliau menyetujui pemberhentiannya dari jabatan. Kemudian, kepemimpinan Idham Chalid digantikan oleh Rois Am. Setelah Idham Chalid sembuh dari sakit, sekitar tanggal 14 Mei 1982 beliau menggugat kembali pengundurannya dengan alasan beliau diprotes oleh pengurus wilayah. Kejadian ini menimbulkan munculnya dua kelompok yaitu, pertama kelompok yang dipimpin oleh empat ulama senior, yaitu KH. As’ad Syamsul Arifin, KH. Ali Ma’shum, KH. Masjkur, dan KH. Machrus Ali. Kedua kelompok Cipete yang dipimpin Idham kholid yang terdiri dari para politisi dan birokrat NU di Jakarta.Kemudian Idham Kholid menghimpun kekuatan dan meminta agar NU mengadakan muktamar lagi.
Akan tetapi, NU menilai lebih penting untuk mengadakan Munas (Musyawarah Nasional) sekaligus membahas Pancasila isu nasional.
            Akhirnya, NU mendapat izin dari pemerintah untuk melaksanakan Munas. Musyawarah Nasional ini berlangsung di Pesantren Salafiah Syafiiyah Sukorejo, Situbondo (pesantren ini dipimpin oleh K.H Asad Syamsul Arifin) pada tanggal 18-21 Desember 1983/ 13-16 Rabiul Awwal 1404. Sebelum diadakan Munas, pihak ulama telah menyampaikan terlebih dahulu ketetapan politik yang telah diputuskannya secara langsung kepada presiden. Masalah asas Pancasila juga telah dibicarahan oleh K.H Asad Syamsul Arifin kepada presiden katika, beliau diterima dalam sebuah pertemuan khusus. “K.H Asad Syamsul Arifin, beliau menegaskan pendirian sebagian besar ulama dan umat Islam Indonesia bahwa mereka menerima Pancasila hukumnya wajib. Beliau mengusulkan untuk diadakannya munas untuk meratakan pendirian itu dan sekaligus dilihat kemungkinan perubahan Anggaran Dasar NU sebagai konsekuensi dari pernyataan tersebut.”(Abdrrahman Wahid,1989)
            Musyawarah Nasional tahun 1983 membahasan tentang empat hal yaitu,
1.      Pemulihan NU kepada Kittah 1926. Nu kembali menjadi organisasi keagamaan dengan mengarahkan program NU kepada situasi pembangunan dan mengatur perangkat organisasi yang mendukung cita-cita NU sesuai Kittah 1926
2.      Penetapan Pancasila sebagai asas organisasi. Dibahas penerimaaan Pancasila sebagai asas dan penjabaranya dalam Anggaran Dasar
3.      Penegasan batasan-batasan bagi penyaluran aspirasi politik warga NU melalui kekuatan sosial politik yang ada
4.      Pembhasan maslah keagamaangan
Selain itu, Munas juga membahas deklarasi tentang hubungan Pancasila dengan Islam yang menghasilkan lima keputusan yaitu,
1.      Pancasila sebagi dasar dan falsafah Negara Republik Indonesia bukanlah agama, dan tidak dapat menggantikan agama dan tidak dapat dipergunakan untuk menggantikan kedudukan agama
2.      Sila Ketuhanan Yang Maha Esa sebagi dasar Republik  Indonesia menurut Pasal 29 Ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945, yang  menjiwai sila-sila yang lain, mencermikan tauhid menurut pengertian keimanan dalam Islam
3.      Bagi Nahdlatul Ulama, Islam adalah akidah dan syariat, meliputi aspek hubungan manusia dengan Allah swt. dan hubungan antar manusia
4.      Penerimaan dan mengamalan Pancasila merupakan perwujudan dari upaya umat Islam Indonesia untuk menjalankan syariat agamanya
5.   Sebagai konsekuensi dari sikap di atas, Nahdlatul Ulama berkewajiban mengamankan pengertian yang benar tentang Pancasila dan pengamalannya yang murni dan konsekuen oleh semua pihak.


B.   Dasar-Dasar Pemikiran Nahdlatul Ulama Menerima Pancasila
1.      Konsep Fitrah
Fitri atau fitrah yang artinya  murni atau suci yang mencerminkan agama Islam sebagai agama yang mengajarkan segala hal tentang kebaikan. Dalam konteks ini, berarti agama Islam membenarkan hal-hal yang baik. Sila-sila dalam Pancasila merupakan cita-cita dan tujuan bangsa Indonesia artinya itu merupakan suatu hal yang baik dan itu tidak bertentangan dengan keyakinan agama Islam. Pancasila bukan agama dan  tidak dapat menggantikan kedudukan agma karena Pancasila merupakan sebuah falsafah bangsa, sedangkan Islam merupakan sebuah agama yang dinilai sebagai sebuah wahyu dari Tuhan. Sehingga NU tetap menerima Pancasila dan akan mewujudkannya dengan sikap-sikap yang selaras dengan ajaran-ajaran Islam.

2.      Konsep Ketuhanan
Dalam sila Pancasila yang pertama, NU menilai itu mengandung sebuah makna khusus bagi agama Islam yang  mencerminkan tentang ketauhidan. Selain itu, dalam Undang-Undang Pasal 29 ayat 1 juga telah dijelaskan bahwa negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa. Sila Pancasila yang pertama ini, menurut K.H. Achamad Siddiq adalah,
a.       Sila Ketuhanan Yang Maha Esa mencerminkan pandangan Islam akan keesaana  Alalah,
b.      Adanya pencantuman “atas berkat rahmat Allah Yang maha Kuasa”  pada Pembukaan Undang-undang Dasar 1945, yang menunjukkan kuatnya wawasan keagamaan dalam kehidupan negara sebagai bangsa.
Sehingga, Islam hanya perlu mengembangkan fitrah manusia saja dan Islam dapat menjalankan fungsinya di dalam masyarakat.

3.      Pemahaman Sejarah
Dari pemahaman sejarah ini dapat kita lihat bahwa pada masa penjajahan NU
 ikut berjuang unntuk mewujudkan sebuah negara yang merdeka. Sehingga, setelah  terbentuknya negara Indonesia NU juga turut serta dalam menciptakan sebuah negara yang beridiologi. Salah satunya dengan menerima asas Pancasila ini. Beberapa pokok pikiran KH. Ahmad Sidiq menegaskan,
1.      Perjuangan umat Islam Indonesia untuk menolak penjajahan dan memperjuangkan kemerdekaan bangsa dari tangan penjajah telah berlangsung sejak lama,
2.      Ketika perjuangan merebut kemerdekaaan sudah mendekati keberhasilanya umat Islam memberikan saham yang sangat besar dalam persiapan lahirnya negara Indonesia merdeka. Melalui para pemimpinya, umat Islam ikut menentukan wujud, asas, dan hukum negara yang akan lahir itu,
3.      Setelah negara Republik Indonesia diproklamirkan, umat Islam tanpa ragu-ragu membela dan mempertahankan kemerdekaan itu, bukan saja sebagai kewajiban nasional, melainkan juga kewajiban agama,
4.      Ketika revolusi fisik telah selesai, umat Islam memberikan saham pula dalam pengisian kemerdekaan yang dicapai dengan penuh pengorbanan itu, Keikutsertaan umat Islam itu terbukti dalam dua jenis kerja besar, yaitu
a.       Umat Isalm berhasil turut menjaga keutuhan negara dari gangguan gerakan-gerakan separatis dan pemberontakan-pemberontakan bersenjata,
b.      Di era Orde Baru, umat Islam turut mengisi kemerdekaan dalam bentuk partisipasi penuh dalam pembangunan nasional yang sedang berlangsung dewasa ini.
Jika dilihat dari sudut pandang agama, walaupun negara itu bukan negara Islam, tetapi negara tetap menjadi jembatan untuk menegakkan nilai-nilai agama. KH. Achmad Sidiq mengambil kesimpulan,
1.      Mendirikan negara dan membentuk kepemimpinan negara untuk memelihara keluhuran agama dan mengatur kesejahteraan kehidupan duniawi wajib hukumnya,
2.      Kesepakatan bangsa Indonesia untuk mendirikan negara Republik Indonesia, adalah sah dan semua pihak, termasuk umat Islam mengikat
3.      Hasil kesepakatan yang sah itu, yaitu Negara Kesatuan Republik Indonesia, adalah sah dilihat dari pandangan Islam, sehingga harus dipertahankan dan dilestarikan eksisitensinya,
4.      Sahnya kesepakatan, hasil kesepakatan, dan ketrkaitan semua pihak itu berlanjut pada hal-hal berikut,
a.       Kewajiban menurut wujud, asas, dan hukum negara sebagaimana ditetapkan dalam kesepakatan,
b.      Kewajiban menjaga dan mengamalkan asas dalam hukum dasar sebagaimana ditetapkan dalam kesepakatan, berarti kewajiban menjaga agar asas dan hukum dasar itu tidak disimpangkan dan diselewengkan,
c.       Kewajiban untuk taat kepada penguasa negara yang sah, dalm hal yang tidak mengajak kepada kekufuran, ingkar kepada Allah, dan kepada kemaksiatan yang nyata,
d.      Kewajiban beramar maruf nahi munkar (melakukan apa yang diketahui baik dan menjauhi apa yang dibenci Allah) dan saling menasihati, tidak terkecuali kepada pemerintah, menurut cara yang sebaik-baiknya,
e.       Kewajiban untuk ikut serta secara aktif dan konstruktif dalam upaya mewujudkan tujuan didirikanya negara.
       (Einar martahan Sitompul, M.Th.,1989)


C.    Perkembangan Politik

Mendekati legsernya kepemimpinan Soeharto, pada 11 Mei 1998 para kiai mengadakn sebuah pertemuan di Langitan. Pertemuan  itu membahas tentang keadaan negara yang semakin kacau, sehingga para kiai membuat surat resmi kepada Soeharto. Surat itu berisi tentang permintaan  agar Soeharto turun dari jabatan presiden. Kiai Mu’hid Mujadid dan KH. Yusyf  Muhammad adalah  orang yang menjadi utusan untuk mengirimkan surat tersebut kepada Soeharto.  Sebelum surat itu sampai kepada Soeharto, beliau sudah mengundurkan diri, pada tanggal 23 Mei 1998. Sejak lengserrnya kekuasaan Soeharto, maka kebebasan bagi rakyat pun mulai terbuka. Salah satunya adalah munculnya banyak partai politik baru.
Ada beberapa fenomena yang cukup berdampak besar pada politik, yaitu
1.      Pergantian pemerintahan dari Orde Baru ke era reformasi membuka jalan rakyat untuk mengemukakan pendapatnya secara terang-terangan dan rakyat dapat ikut berpartisipasi dalam pemerintah melalui suatu partai politik.
2.      Adanya globalisasi yang mendorong negara lebih terbuka kepada negara-negara lain.


D.     NU Mencoba Berpolitik
Setelah bertahun-tahun NU beristirahat dalam dunia politik. Kini saatnya NU berkiprah lagi. Setelah lengsernya kepemimpinan Soeharto, selang beberapa bulan NU mulai terjun kembali di dunia politik di bawah kepemimpinan Gus Dur dengan mendirikan parpol Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) pada 23 Juli 1998. PKB ini berasaskan Pancasila dan pastinya berlandaskan agama karena didirikan oleh para ulama.
Sejak didirikanya PKB ini NU telah banyak mengalami pasang surut dalam kepemimpinan maupun dalam kiprahnya di dalam politik dan keagamaan. Selain PKB ada beberapa parpol yang menyalurkan aspirasi politik NU seperti, Partai Kebangkitan Umat (PKU), Partai Nahdlatul Ummat (PNU), dan lain-lain.
Perlu diketahui bahwa Muhammadiyah juga turut terjun dalam partai politik terutama Amien Rais dengan mendirikan parpol Partai Amanat Nasional (PAN). Akan tetapi baik parpol NU maupun Muhammadiyah tidak satupun yang meraih suara terbanyak dalam pemilu. Lambat laun prestasi partai-partai Islam semakin memudar. Mungkin karena hal itulah, masa Islam bergabung dengan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang dibentuk juga pada tahun 1998. Mereka bergabung karena parpol ini dianggap lebih jelas identitasnya, yakni memperjuangkan berlakunya syariat Isalam. PKS meraih suara yang sangat besar pada pemilu 2009 sehingga mengungguli partai-partai Islam lainya.
Sejak NU terjun dalam partai politik dan setelah kejayaan NU pada pemilu 1955, NU tidak lagi seperti dulu. Setelah bergabungnya NU dengan PPP dan Masyumi Nu merrasa diremehkan oleh anggota fusi lainya. Bisa dibilang bahwa dunia politik kurang cocok bagi NU, walupun didirikan PKB sebagi rintisan baru parpol NU, tetap saja kiprah NU kurang baik.

E.    NU Tetap Mempertahankan Pancasila
Berakhirnya Orde Baru tidak mengubah pendirian NU yang menganut asas Pancasila secara utuh. Ini membuktikan banwa NU menerima Pancasila tidak karena tekanan politk, tetapi karena pertimbangan dalam segi agama yang  matang. Pada masa Orde Baru, walaupoun NU dan pemimpin Orde Baru sama-sama menganut asas Pancasila, teteapai pemahaman mereka sangat berbeda. Pemimpin Orde Baru mengutamakan Pancasila sebagai legitimasi kekuasaan dan alat mengendalikan kekuatan sosial politik, sedangkan NU ingin terus menggunakan Pancasila sebagi landasan pembangunan masyarakat yang lebih berkeadilan dan demokratis.
Penetapan Pancasila sebagai asas negara tidaklah salah bagi penanut agama Islam selama tida melenceng dari syariat Islam. Interpretasi terhadap Pancasila tidak boleh menjadi monopoli penguasa dan juga tidak boleh dikendalikan oleh sekelompok orang untuk nama mayoritas. Jika ini dibiarkan maka Pancasila akan menjadi ideologi tertutup yang pada akhirnya akan menciptakan  iklim totaliterisme (diktatorisme). Ini cenderung menyuburkan sikap anti-kemanusiaan dan anti-demokrasi, sebab orang lain disingkirkan di bawah kekuasaan. Disisi lain, demokrasi adalah pengakuan atas persamaan hak warga negara tanpa memendang agama, suku, dan ras. Penerimaan Pancasila dengan terus mengembangkanya merupakan sikap yang dibangun diatas kesadaran akan masa depan bangsa Indonesia, masa depan yang menjalin persatuan seperti dalam istilah “Bhineka Tunggal Ika".
 

Daftar Pustaka
Sitompul, Einar Marthan. 1989. NU & Pancasila. Yogyakarta: PT LKiS Printing   
                 Cemerlang.
Amin, M. Masyhur. 1996. NU & Ijtihat politik kenegaraanya. Yogyakarta: Al-Amin.
Aldjufri, Shaleh.1997. Politik NU dan Era Demokratisasi Gus Dur. Surabaya: LPLI.

                                                        

Tidak ada komentar:

Posting Komentar